Sejarah
pergerakan kebangsaan Indonesia dimulai sejak terbentuknya berbagai organisasi
kebangsaan modern yang memperjuangkan cita-cita kemerdekaan. Lahirnya
pergerakan tersebut dipengaruhi oleh adanya tokoh-tokoh pemuda nasional
berpendidikan yang memiliki kesadaran nasionalisme sehingga melahirkan momentum
kebangkitan nasional. Tokoh-tokoh muda nasional tersebut utamanya adalah dari
kalangan Nasionalis dan Islam Nasionalis.
Satu diantara tokoh muda dari kalangan Islam Nasionalis kiprahnya amat penting dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia serta ikut mewarnai hukum dan ketatanegaraan Indonesia adalah Mr. Kasman Singodimedjo.
Satu diantara tokoh muda dari kalangan Islam Nasionalis kiprahnya amat penting dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia serta ikut mewarnai hukum dan ketatanegaraan Indonesia adalah Mr. Kasman Singodimedjo.
Lahir
di Purworejo, 25 Februari 1904, Mr. Kasman Sinodimedjo sejak masa mudanya
merupakan figur yang memiliki semangat belajar tinggi. Sejak sebelum memperoleh
gelar sarjana di bidang hukum, Kasman muda adalah sosok yang belajar ilmu
agama, ilmu ketatanegaraan, dan pengetahuan umum secara otodidak melalui
berbagai literatur yang di bawa oleh teman-teman seperjuangannya dari luar
negeri.
Kasman
Singodimedjo telah aktif dalam organisasi Muhammadiyah sejak masa mudanya dan
mengenal secara dekat tokoh-tokoh besar Muhammadiyah seperti KH. Ahmad Dahlan
dan Ki Bagus Hadikusumo. Selain itu sejak 1935, ia telah aktif dalam perjuangan
pergerakan nasional, terutama di Bogor yang sekarang markasnya menjadi Museum
Perjuangan Bogor.
Pada
1938, Kasman Singodimedjo ikut membentuk Partai Islam Indonesia di Surakarta
bersama KH Mas Mansur, Farid Ma’ruf, Soekiman, dan Wiwoho Purbohadidjoyo. Pada
Muktamar 7 November 1945 Kasman terpilih menjadi Ketua Muda III Majelis Syuro
Muslimin Indonesia (Masyumi). Pengurus lain pada saat itu adalah KH Hasjim
Asjari (Ketua Umum), Ki Bagus Hadikusumo (Ketua Muda I), KH Wahid Hasjim (Ketua
Muda II), Mr. Moh. Roem, M. Natsir, dan Dr. Abu Hanifah.
Peran
dan pemikiran Kasman Singodimedjo berkembang dalam tempaan tokoh-tokoh besar
pada saat ia bergabung dengan organisasi Jong Islamieten Bond (JIB). Dalam
organisasi tersebut, ia berhubungan dengan tokoh-tokoh seperti KH Agus Salim,
HOS Tjokroaminoto, KH Ahmad Dahlan, Syeikh Ahmad Surkati, Natsir, Roem,
Prawoto, dan Jusuf Wibisono. Karena aktivitas politiknya, pada Mei 1940 Kasman
ditangkap dan ditahan oleh pemerintahan penjajah Belanda.
Pada
masa pendudukan Jepang, Kasman menjadi Komandan PETA Jakarta. Kasman merupakan
salah satu tokoh yang berperan dalam mengamankan pelaksanaan upacara pembacaan
Proklamasi 17 Agustus 1945 dan rapat umum IKADA. Setelah proklamasi, Mr. Kasman
Singodimedjo diangkat menjadi anggota PPKI sebagai anggota yang ditambahkan
oleh Soekarno untuk mengubah sifat lembaga ini yang semula adalah bentukan
Jepang. Anggota yang ditambahkan selain Mr. Kasman Singodimedjo adalah
Wiranatakoesoemah, Ki Hajar Dewantara, Sajuti Melik, Mr. Iwa Koesoema
Soemantri, dan Mr. Achmad Soebardjo. Dengan demikian anggota PPKI bertambah
menjadi 27 orang dari jumlah semula 21 orang.
Pada
saat menjelang pengesahan UUD 1945 terjadi permasalahan terkait dengan tujuh
kata dalam Piagam Jakarta yang akan menjadi Pembukaan UUD 1945. Perwakilan
kawasan Indonesia timur menyatakan keberatan terhadap tujuh kata “dengan
kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya”. Mengingat bahwa Piagam
Jakarta tersebut merupakan hasil kesepakatan yang telah dicapai dalam
persidangan BPUPK, tentu tidak dapat dengan mudah dilakukan perubahan. Oleh
karena itu dibutuhkan persetujuan, terutama dari tokoh Islam. Diantara tokoh
Islam yang mempertahankan tujuh kata tersebut adalah Ki Bagus Hadikusumo.
Beberapa sumber menyatakan yang berperan dimintai tolong oleh Soekarno untuk
melobi Ki Bagus Hadikusumo agar menyetujui penghapusan tujuh kata tersebut
adalah Mr. Kasman Singodimedjo.
Rapat
PPKI 18 Agustus 1945 menghasilkan beberapa keputusan penting, yaitu (1)
menetapkan UUD 1945; (2) memilih Presiden dan Wakil Presiden; (3) menentukan
pembagian wilayah Indonesia; (4) membentuk departemen pemerintahan; (5)
membentuk BKR; dan (6) membentuk Komite Nasional.
Pada
hari itu, Mr. Kasman bersama dengan Daan Jahya, Oetarjo, Islam Salim, Soebianto
Djojohadikusumo, Soeroto Kunto, Eri Sudewo, Engelen, Soeyono Martosewoyo,
menghadap Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta untuk membahas organisasi
ketentaraan Indonesia. Diputuskan organisasi tersebut terdiri dari jajaran PETA
dan tenaga paramiliter serta eksponen perorangan Heiho dan KNIL. Jajaran PETA
terdiri atas 80.000 pasukan dan 400.000 tenaga paramiliter. Akhirnya, pada 23
Agustus 1945, dengan Dekrit Presiden, dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR)
sebagai organisasi ketentaraan Indonesia. Sebagai Ketua BKR Pusat ditetapkan
mantan Komando Batalyon PETA Jakarta, Mr. Kasman Singodimedjo, Kepala Staf BKR
Daan Jahya, dan Wakil Kepala Staf adalah Soebianto Djoyohadikusumo.
Mr.
Kasman juga diangkat sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
yang secara resmi terbentuk pada 29 Agustus 1945. Bahkan Mr. Kasman
Singodimedjo juga terpilih sebagai Ketua KNIP, parlemen pertama di Indonesia.
Selain itu, terpilih sebagai Wakil Ketua I adalah Mr. Sutardjo Kartohadikusumo,
Wakil Ketua III adalah Mr. J. Latuharhary, serta Wakil ketua III adalah Adam
Malik.
Peran
dan kiprah selanjutnya adalah diangkat menjadi Jaksa Agung pada 1945 – 1946
menggantikan Gatot Taroenamihardja. Pada saat menjabat sebagai menjadi Jaksa
Agung, Kasman mengeluarkan Maklumat Jaksa Agung No. 3 tanggal 15 Januari 1946.
Maklumat tersebut ditujukan kepada para Gubernur, Jaksa, dan Kepala Polisi
tentang ajakan untuk membuktikan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara
hukum, yaitu negara yang selalu menyelenggarakan pengadilan yang cepat dan tepat.
Dianjurkan pula untuk segera menyelesaikan perkara-perkara kriminal yang belum
diselesaikan. Polisi dan Jaksa dituntut untuk selalu menyelaraskan diri dengan
pembangunan negara yang berdasarkan hukum dengan bantuan para hakim. Jaksa
Agung Mr. Kasman Singodimedjo digantikan oleh Tirtawinata pada 1946.
Selanjutnya
Mr. Kasman Singodimedjo aktif dalam dunia politik Indonesia bersama Partai
Masyumi. Dalam struktur pemerintahan, Mr. Kasman pernah menjabat sebagai
Menteri Muda Kehakiman pada Kabinet Amir Sjarifuddin II, yaitu mulai 11
November 1947 hingga 29 Januari 1948. Pada saat itu yang menjabat sebagai
Menteri Kehakiman adalah Susanto Tirtoprodjo.
Pada
pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Konstituante, 29 September 1955, Mr.
Kasman Singodimedjo terpilih sebagai anggota Dewan Konstituante dari Partai
Masyumi. Pada persidangan-persidangan Dewan Konstituante ini Mr. Kasman
Singodimedjo mewarnai perdebatan pembentukan UUD terutama mewakili fraksi yang
menghendaki Islam sebagai dasar negara.
Dalam persidangan Konstitante, Mr.
Kasman mengemukakan bahwa untuk menyelesaikan masalah perbedaan tentang dasar
negara terdapat dua cara yang dapat ditempuh, yaitu dengan cara kompromi dan
dengan cara membanding. Mr. Kasman, dan fraksi pendukung Islam lainnya, tidak
menyetujui apabila masalah dasar negara diselesaikan dengan cara kompromi
karena dasar negara dipandang sebagai hal yang sangat penting. Oleh karena itu
cara yang dipilih adalah membanding pilihan-pilihan dasar negara tersebut, mana
yang paling baik dan benar yang seharusnya dipilih.
Mr.
Kasman Singodimedjo mendukung Islam sebagai dasar negara berdasarkan
alasan-alasan yang bersifat universal, dan alasan-alasan dialektis Indonesia.
Alasan-alasan universal dimaksudkan sebagai pengakuan terhadap kedaulatan hukum
Tuhan yang termanifestasikan dalam ajaran agama. Sedangkan alasan dialektis
Indonesia adalah pengakuan bahwa agama di Indonesia yang kuantitatif dan
kualitatif berpengaruh di Indonesia adalah Islam. Islam adalah faktor nasional
Indonesia yang utama dan yang menguasai psyche Indonesia.
Untuk
menunjukkan sisi universal Islam, Kasman mengutip firman Allah dalam al-Qur’an
surah al-Hujurat ayat 13; “Hai kamu manusia, sesungguhnya Aku telah menjadikan
kamu sekalian dari seorang lelaki dan perempuan, dan telah Ku jadikan kamu
menjadi kaum-kaum dan keluarga-keluarga, supaya kamu antara yang satu dengan
yang lain akan kenal-mengenal dan harga menghargai. Sesungguhnya bagi Allah
yang amat terpandang tinggi diantaramu itu ialah siapa saja yang memperhatikan
(akan kewajibannya) dengan setertib-tertibnya. Sesungguhnya Allah itu yang
mengetahui (akan segala yang menjadi kehendaknya)”.
Berdasarkan
firman Allah tersebut, Mr. Kasman menyatakan bahwa Islam meletakkan dasar hidup
berbangsa atas dasar prinsip saling menghargai. Islam membersihkan kehidupan
dunia dari prinsip chauvinisme dan rasialisme sehingga perdamaian dapat
terpelihara. Dengan demikian Islam menjamin hak asasi manusia seimbang dengan
penuaian kewajiban asasi. Islam menjunjung tinggi nilai perikemanusiaan dengan
penuh tanggungjawab baik terhadap diri sendiri, masyarakat, bangsa, dan seluruh
umat manusia di dunia.
Selain
itu, Mr. Kasman juga menguraikan enam alasan Islam sebagai dasar negara
Indonesia, yaitu (1) Islam mewajibkan demokrasi berdasarkan musyawarah yang
mendudukkan kebenaran dan hak; (2) Islam mewajibkan pemimpin rakyat, pemimpin
negara dan pemimpin pemerintahan penuh tanggung jawab kepada rakyatdan kepada
Tuhan; (3) Islam menegakkan kemerdekaan lahir dan batin, menolak penjajahan,
penindasan atau eksploitasi manusia atas manusia lain dalam bentuk apapun; (4)
Islam memberantas kemelaratan dan menegakkan kemakmuran lahir dan batin atas
dasar hidup keragaman antara golongan dan golongan (kelas); (5) Islam mewajibkan
menunaikan fardhu kifayah disamping menunaikan fardhu ‘ain sehingga tidak boleh
ada egoisme yang tamak atau bakhil. Kekayaan milik perseorangan tidak terlepas
dari fungsi sosial sehingga ada pemerataan; dan (6) Islam memberikan penilaian
yang sama antara kaum wanita dan kaum pria.
Pembahasan
dasar negara dalam Dewan Konstituante yang belum juga dapat membuahkan hasil
hingga 1959, ditambah dengan kondisi politik yang tidak stabil akibat
terjadinya beberapa pemberontakan mendorong pemerintah mengusulkan kembali pada
UUD 1945. Presiden bersama dengan kabinet memutuskan penerapan demokrasi
terpimpin untuk menjaga stabilitas nasional. Pada 2 Maret 1959 setelah rapat
kabinet yang memutuskan tentang Demokrasi Terpimpin, Perdana Menteri Djuanda memberi
keterangan kepada DPR mengenai pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dalam rangka
kembali ke UUD 1945 yang digagas oleh Presiden Soekarno. Gagasan Presiden
Soekarno untuk kembali ke UUD 1945 itu disampaikan juga dalam sidang Dewan
Konstituante di Bandung pada 22 April 1955 melalui amanat Presiden. Hal itu
menjadi bahan perdebatan di kalangan anggota Dewan Konstituante, terutama
mengenai prosedur kembali ke UUD 1945. Sebagian berpendapat agar kembali ke UUD
1945 dilakukan tanpa amendemen, sebagian lainnya meminta dilakukan amendemen.
Perdebatan tersebut tidak menemukan titik temu hingga tiga kali masa sidang.
Kondisi
dalam Dewan Konstituante tersebut dipandang oleh Presiden telah mengalami
kebuntuan. Untuk mengatasi hal tersebut Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden 5
Juli 1959. Melalui dekrit, Presiden selaku Panglima Tertinggi Angkatan Perang
menetapkan pembubaran Konstituante, memberlakukan kembali UUD 1945, dan
membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Dekrit ini kemudian
dikukuhkan oleh DPR secara aklamasi pada 22 Juli 1959.
Dengan
dimulainya era demokrasi terpimpin, kondisi politik dan pemerintahan mengalami
pergeseran. Demokrasi terpimpin yang secara konseptual dimaksudkan sebagai
pelaksanaan demokrasi yang dipimpin oleh kebijaksanaan demi kepentingan bangsa
dan negara, menjadi demokrasi yang segalanya ditentukan oleh pemimpin. Dengan
demikian, demokrasi menjadi kehilangan eksistensinya dikalahkan oleh
kepemimpinan yang cenderung otoriter.
Kondisi
demokrasi terpimpin tersebut juga dapat dilihat dari kehidupan partai politik
yang pada saat itu sudah mulai dibatasi. Pada tanggal 13 Desember 1959,
dikeluarkan Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 7 Tahun 1959 tentang
Syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian yang kemudian diubah dengan Perpres
Nomor 25 Tahun 1960. Sebagai tindak lanjut dari Perpres tersebut, dikeluarkan
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 13 Tahun 1959 tentang Pengakuan, Pengawasan
dan Pembubaran Partai-partai yang diikuti dengan Keputusan Presiden (Keppres)
Nomor 128 Tahun 1961 tentang Pengakuan Partai-partai yang Memenuhi Perpres
Nomor 13 Tahun 1960. Partai-partai yang diakui adalah PNI, NU, PKI, Partai
Katolik, Partai Indonesia, Partai Murba, PSII, dan IPKI. Selain itu juga
dikeluarkan Keppres Nomor 129 Tahun 1961 tentang penolakan Pengakuan
Partai-partai yang Memenuhi Perpres Nomor 13 Tahun 1960. Partai-partai yang
ditolak pengakuannya adalah PSII Abikusno, Partai Rakyat Nasional Bebasa Daeng
Lalo, dan Partai Rakyat Nasional Djodi Gondokusumo. Di samping itu melalui Keppres
440 Tahun 1961 diakui pula partai-partai politik, antara lain Partai Kristen
Indonesia (Parkindo) dan Persatuan Tarbiyah Islam (Perti).
Pimpinan
Masyumi dan PSI, pada 21 Juli 1960 dipanggil oleh Presiden Soekarno dan
diberikan daftar pertanyaan yang harus dijawab oleh mereka dalam jangka waktu
satu minggu. Namun karena jawaban yang diberikan tidak memuaskan, pada 17
Agustus 1960 diterbitkan Keppres Nomor 200/1960 dan Keppres Nomor 201 Tahun
1960 yang ditujukan kepada kedua partai tersebut agar dalam jangka waktu 30
hari membubarkan diri. Jika hal itu tidak dipenuhi, maka partai tersebut akan
dinyatakan sebagai partai terlarang. Akhirnya pimpinan Masyumi dan PSI
membubarkan partai mereka. Upaya pembubaran Masyumi ini terkait dengan adanya
pemberontakan PRRI Permesta yang oleh banyak pihak diduga mendapatkan dukungan
dari Partai Masyumi dan PSI.
Pembubaran
Masyumi menjadi salah satu wujud pertentangan antara pemerintahan demokrasi
terpimpin dengan kelompok Islam Politik yang saat itu direpresentasikan oleh
partai Masyumi. Pertentangan tersebut juga berakibat pada penangkapan
tokoh-tokoh Islam yang dianggap kontra revolusi.
Pada
9 November 1963, Mr. Kasman dipanggil menghadap Komandan Korps Intelejen di
Kantor Polisi Komisariat Jakarta Raya. Namun pemanggilan tersebut ternyata
langsung diikuti dengan penahanan. Pada 16 November 1963, penahanan Mr. Kasman
Singodimedjo dipindahkan ke Ciloto, Cianjur, tepatnya di kompleks sekolah
kepolisian Sukabumi bersama-sama dengan Hamka dan Ghazali Syahlan. Dakwaan yang
ditujukan kepada Mr. Kasman Singodimedjo adalah melanggar Pasal 169 ayat (1),
(2), dan (3) KUHP yaitu turut serta dalam perkumpulan dan perserikatan lain
yang bermaksud melakukan kejahatan, yang dilarang undang-undang dan diancam
hukuman penjara setinggi-tingginya enam tahun.
Penahanan
kemudian dipindah ke penjara Bogor dan dituduh mengadakan rapat gelap di Desa
Cilendek bersama KH Sholeh Iskandar. Tuduhan lain yang dikenakan kepadanya
adalah sebagai ketua kelompok empat yang berniat membunuh Presiden. Selain itu
Mr. Kasman juga dituduh menyelewengkan Pancasila, merongrong kekuasaan negara
dan mengajak orang untuk memusuhi pemeritahan Soekarno. Mr. Kasman dituduh
melanggar Penetapan Presiden No. 11 Tahun 1963 dan No. 5 tahun 1963. Akhirnya,
dakwaan tersebut diputus pada 14 Agustus 1964 dengan hukuman penjara 8 tahun,
yang pada tingkat banding berubah menjadi 2 tahun 6 bulan.
Setelah kekuasaan Soekarno runtuh dan digantikan oleh pemerintahan Orde Baru, tidak banyak lagi terdengar pemberitaan tentang Mr. Kasman Singodimedjo. Namun beliau tetap aktif dalam organisasi Muhammadiyah. Mr. Kasman Singodimedjo, meninggal pada 25 Oktober 1982.
Setelah kekuasaan Soekarno runtuh dan digantikan oleh pemerintahan Orde Baru, tidak banyak lagi terdengar pemberitaan tentang Mr. Kasman Singodimedjo. Namun beliau tetap aktif dalam organisasi Muhammadiyah. Mr. Kasman Singodimedjo, meninggal pada 25 Oktober 1982.